LOGO KAMI

LOGO KAMI

Laman

Rabu, 20 Maret 2013

MILA Oleh : Fr. Bosco Lamawuran*

 

clip_image002Di depan mataku terpampang luasnya lautan dengan iringan gemuruh ombak yang pecah oleh bebatuan. Tampak di ufuk Barat, Sang Mentari dengan pancaran sinar kemerah-merahan, menambah suasana keindahan saat itu. Sejenak kebisuan menyelimutiku. Hanya derap langkah dan hembusan sang bayu senja yang menerpa dedaunan yang terdengar di telinga. Kini hari mulai malam. Di bawah pepohonan nan rindang, kududuk sendiri mengenang kisahku, kisah yang penuh suka dan duka.

Dulu ketika aku masih kecil, hidupku selalu diwarnai kebahagiaan dan keceriaan. Aku hidup di pangkuan keluargaku. Aku selalu berada dalam suasana kasih sayang ayah dan ibu. Kalau boleh aku bilang, “ya… hitung-hitung, keluargaku amat sejahtera dan harmonislah”. Bukan sombong. Tapi, sungguh aku merasakan kebahagiaan ketika berada di tengah keluargaku. Sungguh menyenangkan.

Ketika aku berada di bangku SMA, keluargaku mulai berantakan. Ayah dan ibuku sering bertengkar. Ayah sering keluyuran di malam hari. Kadang-kadang ayah pulang pagi. Yang pastinya keadaan keluargaku sungguh memprihatinkan. Aku pun yang dulu lugu, kini mulai mengenal dunia keramaian. Aku mulai mengenal kehidupan di luar sana, aku mulai mengenal gaya dan cara pergaulan. Aku sekolah di sebuah sekolah Katolik. Ya, karena mengingat keadaan keluargaku yang pas-pasan, aku tidak menuntut untuk masuk di sekolah favorit. Prinsipku, yang penting aku bisa melanjutkan studiku.

Suatu ketika, tepatnya hari Rabu, pada pukul 06:30, aku sudah beranjak dari rumah ke sekolah. “Mila, kamu kok cepat sekali. Biasanya kan berangkat jam tujuh”. “Ia bu. Hari ini Mila piket di kelas. Mila berangkat ya bu”. “Ya hati-hati”, sambung ibuku. Aku segera menuju jalan raya untuk menunggu angkot. Tiba-tiba terdengar suara resing sepeda motor yang berhenti tepat di tempat aku berdiri. “Hai Mila, apa kabar? Namaku Jefry. Aku anak kelas dua”. Sejenak aku terdiam, heran, bingung. Mataku terpana pada sosok tubuh yang kekar dan tegap itu. “Hai, kabar baik”, jawabku dengan suara yang polos dan lembut. “Ayo Mila, kita berangkat bareng yuk”. “Tapi kan…”. “Ayolah Mil, lagian kan aku sendiri”. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku segera menumpang sepeda motor Jefry. Sepuluh menit kemudian, kami sampai di sekolah. Aku segera turun dari sepeda motor sambil merapikan rambutku yang acak-acakan. “Terima kasih ya Jef”, ucapku sambil menatap wajah tampannya. Aku segera berjalan menuju kelasku. Cepat-cepat aku mulai menyapu ruangan kelas yang penuh dengan debu kapur.

“Hai Mila, lagi beres-beres ya”. “Ia Jef. Hari ini aku piket”. “O ya, aku boleh ngomong sesuatu ga Mil”? “Mau ngomong apa Jef, ngomong saja”. “Tapi Mila ga marah kan?” “Ah kamu Jef. Emangnya aku ini nenek sihir. Siapa juga yang marah. Aku siap dengerin kamu kok. Entah apapun itu”. Jefry menatap aku dan sesegera ia memegang tangan kananku. “Mila, sebenarnya sudah lama ingin kukatakan. Sebenarnya aku suka sama kamu”. Jantungku berdenyut semakin cepat. Aku gugup, panik, gelisah. Aku tertunduk malu.. Mulutku kini terkatup rapat seakan bisu. Namun, pelan-pelan aku mencoba menatapnya. “Jef, aku juga tidak dapat membohongi perasaanku. Sebenarnya aku juga menyukaimu. Tapi aku merasa aku tidak pantas. Aku hanyalah seorang anak yang miskin. Hanyalah sebuah gubuk reot yang kumiliki untuk membaringkan diriku”. “Ah, Mila. Kamu ini ada-ada saja. Kita patut bersyur kepada Tuhan, karena Dia masih mengijinkan kita untuk hidup, kita masih bisa punya rumah, walau pun tidak semegah yang kita harapkan. Mila, hidup di dunia ini hanya sementara saja. Kita di sini hanya sebagai tamu. Kita hanya menumpang dan menginap sejenak saja. Ingatlah bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini sifatnya hanya sementara saja. Yang terpentingkan bukan berapa lama kita hidup, tapi bagaimana kita hidup? Apa gunanya punya rumah yang mewah tetapi isinya neraka. Mila tak usah sedih. Segala sesuatu indah pada waktunya.” Sambil menggenggam tanganku, kembali Jefry menguatkan hatiku yang sebenarnya sungguh pilu. “Mila.., aku sungguh mengagumi dirimu. Kamu seorang gadis yang tegar. Aku akan selalu ada untukmu. Aku bersedia menjadi tempat sampah bagimu. Apapun yang ingin kau ceritakan, ceritakanlah. Aku selalu siap mendengarkan.”

“Mila…Aku mencintaimu bukan karena kemewahan, tapi aku mencintaimua karena dirimu”. Aku tersenyum kagum akan pribadi Jefry yang penuh tersirat kasih sayang. Aku bahagia memiliki teman seperti Jefry. Namun, aku juga terpukul karena keluargaku yang selalu berantakan. “Iya Jef, terima kasih”, jawabku dengan nada yang terbata-bata. “Jef, aku juga selalu merindukan kehadiranmu di sampingku.”, tambahku.

Hari demi hari kami lalui bersama dalam alunan nada-nada cinta. Jalinan cinta di antara kami selalu terpupuk dengan kasih dan sayang. Hari-hari hidup, kami jalani dalam nuansa kebahagiaan. Setiap hari, aku dan kekasihku, Jefri, selalu bersama-sama. Jefri menjemputku, juga mengantarku ketika seusai sekolah.

Suatu hari, ketika Jefri mengunjungiku di rumah, ia menemui aku dalam suasana sepi hanya ditemani oleh air mata. Jefry segera mengusap air mata dari kedua bola mataku. O… aku sungguh merasakan kasih sayang dari Jefri saat itu. Ia perhatian padaku. Aku sungguh bahagia ketika ia menemaniku bercerita. Namun ketika Jefry pergi meninggalkan aku, aku sungguh berada dalam kesunyian. Sepi rasanya hidupku, bak berada di tengah hutan rimba yang gelap. Aku pun segera ke kamar tidurku yang tampak kecil dan lusuh. Aku membaringkan diriku sejenak di ranjang yang dihiasi kayu-kayu papan tanpa kasur. “Tok…, tok…, tok…, Mila…, Mil…”, terdengar suara dari barik pintu kamarku. Aku terbangun dari tidurku. “Iya, Bu”, jawabku sambil membukakan pintu. ”Ayah belum pulang?”, tanya ibu padaku. “Belum tu Bu”, jawabku. “Kan sudah larut malam, kok ayah belum pulang. Ibu sudah siapkan makanan. Ayo kita makan!”, ajak ibu. “Nanti saja Bu nunggu ayah biar sama-sama kita makan”, jawabku pada ibu. “Ya sudah kalau begitu”, sambung ibu sambil mengelus-elus kepalaku. “Tok…, tok…, tok…”, terdengar suara ketukan pintu depan yang sangat keras. “Ibu…., ibu…, Mila.., Mila…”, teriak dari balik pintu. Aku segera berlari membukakan pintu. “Mana ibumu!”, tanya ayah dengan raut wajah yang agak pucat. Tampaknya ayah terhipnotis dengan minuman keras. Ayah kelihatan loyo, lemah dan tak berdaya. Bau nafasnya penuh dengan aroma alkohol. Ibu pun segera menghampiri ayah. “Pak, kok pulang jam segini yah, kan dah larut malam”, komentar ibu pada ayah. “Akh…, itu bukan urusanmu”, bantah ayah. “Tapi kan, Pak”, sanggah ibu. “Plak!”, tak disadari ayah menempelkan tangannya ke pipi kanan ibu. Ibuku terdiam. Air matanya mulai berlinang. Aku segera memeluk ibu. “Ayah, sudahlah! Aku bosan melihat suasana keluarga kita. Apa salah ibu, yah. Tak pernah ada damai di keluarga kita. Sadarlah ayah. Aku sangat mencintai ayah dan ibu. Aku ingin keluarga kita sejahtera. Aku ingin keluarga kita damai ayah”, jawabku sambil mengusap air mata di pipi ibu. “Damai? Lebih baik kau pergi. Ayah sudah capek dan ingin beristirahat”, sanggah ayah padaku. Aku masih memeluk ibu. “Bu, aku harap ibu sabar. Aku mencintai ibu dan ayah. Aku sangat membutuhkan kalian. Aku yakin, suatu saat nanti ayah akan berubah”, kataku pada ibu. Ibu hanya menatapku dengan wajah yang kusut penuh duka. Ibu merangkulku dengan penuh kasih sayang. “Mila anakku, ibu sangat bangga padamu. Maafkan ibu kalau ibu terpaksa mengatakannya. Ibu sungguh menderita dengan kelakuan ayah. Ibu tidak sanggup lagi menghadapi ayahmu. Tapi ibu akan selalu berusaha untuk selalu bersama dengan kamu dan dengan ayah”, ujar ibu padaku. Aku sungguh terpukul mendengar kata-kata ibu. Aku takut kalau-kalau ibu akan meninggalkan ayah dan juga aku. “Ibu, Mila juga mencintai ibu”.

Keesokan harinya, saat istirahat pertama, Hpku berbunyi. Kubuka Hpku dan kulihat ada pesan baru, masuk. “Ini pasti dari Jefry”, tebakku dalam hati. Saat kuperhatikan di layar kaca Hpku ternyata SMS dari sang ibu tercinta. Aku pun cepat-cepat membuka dan membaca pesan itu. “Mila, anakku. Ibu semakin tak tahan lagi. Ibu dan ayah ribut lagi”, demikian isi SMS dari ibu. Aku sungguh gelisah kala itu. akhirnya aku terpaksa bolos dari sekolah untuk menjumpai ibu. “Bu.., bu…, Mila pulang”, teriakku dari balik pintu. Tak terdengar sahutan dari dalam rumah itu. Rupanya pintu rumah tidak terkunci. Aku segera masuk ke dalam rumah. Rumah tampak sepi. Hanya terdengar suara cecak yang menempel di dinding. Hatiku sungguh pilu, sedih. Seluruh badanku gemetar ketika melihat sebuah amplop putih di atas meja. Segera kubuka dan kubaca surat itu.

 

Ytc. Mila,

Mila, anakku, ibu sangat mencintaimu. Ibu sungguh menyayangimu. Ibu tahu kalau saat ini hati Mila diliputi duka lara. Tapi ibu berharap agar Mila selalu ceria,

Mila, anakku, ibu minta maaf. Ibu pergi meninggalkanmu bukan karena ibu membencimu, tapi karena situasi yang sungguh membuat ibu terluka. Mila, anakku, jagalah dirimu baik-baik. Walaupun ibu tak bersamamu lagi tapi ibu akan selalu mendoakanmu. Ibu yakin bahwa Tuhan akan selalu menemani Mila. Mila, anaku, maafkan ibu.

Tertanda

Ibundamu tersayang

 

Setelah membaca surat dari sang ibu, aku tak berdaya lagi. “Tuhan, mengapa semuanya menimpa aku dan keluargaku. Aku sungguh membutuhkan keluargaku. Aku tak sanggup jika hidup tanpa keluargaku. Tuhan, mengapa semuanya ini harus terjadi? Aku terus menagis dan menangis. Hidupku sungguh tak berguna lagi. Aku ingin sendiri. Akhirnya aku pun mengambil secarik kertas dan kutulis sesuatu untuk kekasihku yang sangat kusayangi.

 

Buat

Ytc. Jefry kekasihku

Jefry, aku sungguh bahagia menjalin cerita dan kasih sayang bersamamu. Kamu telah menguatkan aku, dan telah membuatku tersenyum. Aku sangat mencintaimu. Sesungguhnya aku tak mau berada jauh darimu. Namun, keadaanku yang tidak memungkinkan lagi membuatku terpaksa mengkhianati kata hatiku. Maafkan aku jika telah mengkhianati janji sayang kita. Maafkan aku jika telah mengkhianati janji cinta kita. Aku pergi, bukan karena aku tidak mencintaimu lagi, bukan pula karena aku membencimu. Aku akan pergi membawa seluruh cintamu. Aku akan pergi membawa seluruh kasih sayangmu. Aku akan membawa semua kenangan indah saat bersamamu.

Jefry yang tersayang, doakan aku selalu, agar suatu saat nanti aku bisa tersenyum kembali seperti saat berada bersamamu. Semoga kamu menemukan cinta sejatimu yang sungguh membuat Jefry tersenyum bangga. Maafkan aku, Jefry.

Untukmu Dambaanku

Kau Satu dalam Hatiku selalu

Mila

 

Setelah kutulis dan kukirim surat itu kepada Jefry, aku segera pergi meninggalkan segala-galanya. Aku pergi meninggalkan gubuk reot, tempat lindungku, aku pergi meninggalkan kekasihku yang selalu menguatkan aku dan selalu membuatku tersenyum. Aku pergi membawa sejuta kenangan. Dalam suasana yang diliputi duka lara, aku yakin akan kata-kata Ibuku bahwa Tuhan akan selalu menemani dan menguatkan aku dalam setiap langkah kehidupanku.

Ombak deras yang menghempas bebatuan, kembali terdengar di telinga. Aku kaget. Seketika itu juga, aku terbangun dari lamunanku. Aku panik ketika kuperhatikan di sekelilingku, hari semakin gelap. Sejenak aku menghela nafas. Segera aku beranjak. Aku pergi meninggalkan tempat itu dengan seribu bayangan akan kisahku, kisah yang penuh suka dan duka.

* Penulis adalah calon imam Keuskupan Pangkalpinang, Tingkat III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar