LOGO KAMI

LOGO KAMI

Laman

Rabu, 20 Maret 2013

SALAHKAH AKU…? Oleh: Fr. Albertus Irawan Dwi Atmaja

 

clip_image002Hmm… Liburan tiba. Sudah lama aku tak pulang ke rumah semenjak aku di seminari tinggi. Aku rindu pada suasana rumah. Rindu. Aku sangat rindu. Inilah saatnya aku melepas rasa rinduku. Ada kebiasaan, jika libur maka kami harus menjalani live-in di salah satu paroki yang ada di keuskupan kami. Tetapi kali ini berbeda. Kami tidak menjalani live-in tersebut. Kami langsung pulang ke rumah untuk berlibur.

Dalam perjalanan pulang, aku mencoba menyusun program kecil selama liburan ini. Inti dari program yang kurencanakan yaitu menemani pastor yang ada di paroki dalam berpastoral. Yah, kalau ada permintaaan lain dari paroki atau keuskupan, aku akan taat. Itu sudah konsekuensi.

Aku pun memulai masa liburan pada Senin, 25 Juli 2012. Adapun kebiasaan yang telah kulakukan sebelumnya yaitu ketika sampai di rumah untuk liburan, aku segera menghadap pastor paroki sekaligus merayakan Ekaristi. Yah, kebiasaan itu tetap kujalankan. Jarak rumahku dengan pastoran tidak terlalu jauh, hanya 500 m. Pagi itu, aku pun segera ke pastoran. Kuletakkan sepeda motorku di depan garasi. Kemudian pandanganku terpaku pada sesosok tubuh yang ada dihadapanku. Sosok itu samar-sama di mataku. Wajar saja karena mataku sudah tidak normal lagi. Aku pun lupa membawa kacamataku. Aku tak tahu siapa gerangan yang ada dihadapanku saat ini. Aku mencoba menebak dengan mata hatiku. Tetapi sosok tubuh itu tetap mengundang pertanyaan bagiku. Akh… Daripada aku terus bertanya, aku pun menayunkan langkah dan segera menjumpai sosok manusia itu. Aku pun terkejut. Ternyata dia temanku. Tema lamaku. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat SMP, kami pun berpisah. Aku masuk seminari menengah yang ada di Sumatera sedangkan dia masuk Seminari Menengah Mertoyudan. Dia tetap di Jawa untuk melanjutkan panggilannya dan menjadi biarawan yang pusat biaranya di Bandung. Perjumpaan yang tak pernah kuduga.

Usai Perayaan Ekaristi, ia mengajakku mengobrol. Kami mencari tempat yang nyaman. Ada sebuah pohon mangga yang cukup besar di depan pastoran maka kami duduk di bawahnya dan mengobrol. Dia meminta agar aku menjadi pendengar yang baik. Aku turuti kemauannya. Mulailah dia berkisah tentang sebuah peristiwa yang membuatnya cemas.

“Bon, kamu tahukan Jawa itu bagaimana suasananya. Aku yakin itu karena kamu orang Jawa. Kamu juga pasti tahu juga watak orang-orang di Jawa. Aku tak mau mengisahkannya lebih lengkap karena aku yakin kamu pasti tahu. Di biaraku, hanya ada 2 frater yang berasal dari Sumatera. Aku merupakan salah satu frater yang berasal dari Sumatera itu. Aku tak tahu bagaimana situasi kota Bandung sebelumnya. Gambaran kecil pun tak ada di benakku. Tetapi karena tekatku maka aku memberanikan diri untuk menjadi anggota biara tersebut. Ketika seminari menengah di Magelang, boleh dikatakan aku tak banyak melakukan kesalahan. Walaupun ada kejahatan kecil yang pastinya kulakukan. Yah, paling-paling kejahatan anak remaja. Tetapi suasana itu pun berubah semenjak aku di biara ini. Tak banyak yang kukenal. Paling-paling seorang frater yang dulu sempat tinggal di pastoranku ketika dia SMP. Adiknya juga menjadi biarawati dan biaranya dekat biaraku. Aku sudah merasa akrab dengan mereka. Yah, aku menganggap mereka sebagai abang dan kakakku. Kalau aku memiliki kesempatan, maka aku akan mengunjungi suster itu ke biaranya. Jarak biaranya tak terlalu jauh dari biaraku. Darinya, aku mengenal seorang suster -adik angkatannya- yang bagiku dia cukup baik dan bersahabat. Tetapi tak mungkinkan sekali bertemu aku langsung akrab dengannya. Seiring perjalanan waktu, kami pun semakin dekat. Penyebabnya? Aku pun tak tahu pasti. Tiba-tiba saja aku dan dia selalu berbincang-bincang. Jika Misa di paroki, aku selalu pulang bersama lalu berpisah di depan gerbang gereja. Hal itu hampir selalu kulakukan. Yah, begitulah. Aku pun sulit melukiskan keakrabanku itu karena konsep akrab yang ada padaku berbeda dengan konsep akrab yang ada pada semua orang.”

“Pada suatu Natal, aku berencana memberinya sebuah kado. Aku tak tahu kado apa yang cocok untuknya. Aku bingung. Untung saja ada sahabat karibku memberi ide. Katanya, “Jika hendak memberikan kado Natal untuk suster, beri saja dia kartu natal, ‘mainan’ kunci dan tulislah sepucuk surat yang bermanfaat baginya yah bisa juga memberi fotomu.” Itulah idenya. Aku bermenung. Ide yang bagus. Aku pun melaksanakan seperti apa yang diberitahukan sahabat karibku itu. Huh… Kalau ucapan Natal dan Tahun Baru yang bernada,‘semoga damai Natal beserta kita, semoga kasih Allah melimpah atas kita, dll’ itu sudah lumrah. Aku ingin membuat yang beda. Yah, beda.”

“Dengan segenap kemampuan yang ada, aku menulis sepucuk surat. Inti dari surat itu: “Aku tahu kamu seorang suster dan aku sadar akan hal itu. Tetapi ada satu hal yang menarik dari kamu. Hal itu kulihat setelah kita berjumpa beberapa kali. Aku merasa kamu itu istimewa untukku. Eiittss… Tapi ingat!! Istimewa bukan berarti aku ‘suka’ dengan kamu. Oke!! Bahkan jatuh cinta. Tidak. Tidak sama sekali. Arti ‘istimewa’ di situ berbeda dengan arti yang sebenarnya. Aku mau supaya kamu jadi sahabatku. Aku harap kamu mengerti. Aku juga berharap semoga kamu tetap teguh pada panggilannmu sebagai seorang biarawati. Aku akan terus mendoakanmu.”

“Aku juga menuliskan kata-kata pada kartu natal. Bunyinya seperti ini: “Aku pernah membaca tulisan seorang frater yang isinya demikian:

“setiap orang tentu pernah mengalami rasanya jatuh cinta walaupun kadarnya berbeda. Aku pun pernah. Tetapi aku sadar akan jalan hidupku. Aku dipanggil bukan untuk mencintai satu orang tetapi aku ingin mencintai banyak orang. Aku yakin, banyak teman-temanku mengalami gejolak batin seperti ini. Aku mencoba menawarkan satu alternatif. Tetaplah teguh pada panggilanmu. Coba alihkan cintamu yang bersifat pribadi itu menjadi cinta yang universal. Aku yakin kamu akan memperoleh arti cinta yang sebenarnya.”

Itulah kata-kata yang kubaca dari majalah yang merupakan karya seorang frater yang kukagumi. Kata-kata ini terpatri kuat di ingatanku. Maka aku hanya mengatakan padamu, “Aku memiliki banyak cinta. Dari sekian banyak cinta yang kumiliki, satu kuberikan untukmu. Rasa cinta ini bukan rasa cinta yang dimiliki seorang pemuda yang sedang dimabuk asmara. Tapi ‘cinta’ ini lebih dalam maknanya. Ingat saja bahwa inti semua ajaran Kitab Suci adalah cinta atau Allah adalah cinta. Maka arti cinta akan tertemukan di dalam-Nya. Oke!!”

***

“Tetapi ada sedikit masalah. Aku tidak bisa memberikan kado Natal yang kubungkus rapi itu padanya secara langsung. Aku pun menitipkannya pada seorang suster yang kukenal -komunitasnya berdekatan-. Aku percaya padanya. Tetapi, aku mendengar bahwa suster itu tidak memberikan hadiah itu. Dia menahannya bahkan membukanya. Dia membaca isi surat itu. Aku hanya tertunduk lesu tanpa gairah. Takut. Takut sekali. Aku takut Tuhan. Aku takut kalau suster itu salah mengartikan isi suratku. Aku tak sanggup berkata-kata. Salahkah aku Tuhan? Tujuannku baik. Tak ada maksud lain. Aku tak mau hanya gara-gara itu dia dikeluarkan dari biara. Aku dan dia memiliki tujuan yang sama yaitu menjadi pengikut-Mu. Bantu aku Tuhan.”

“Selama enam bulan memang tidak terjadi apa-apa. Tetapi perasaanku belum tenang hingga liburan ini. Aku takut. Harapanku, semoga tidak terjadi apa-apa.”

***

Kemudian ia meminta pendapatku. Aku hanya mengatakan. “Fred, aku tahu siapa kamu. Caramu mengungkapkan sesuatu sungguh beda. Cita rasa kata-kata yang kau tuliskan mengesankan banyak orang. Tidak semua orang bisa menafsirkan tulisannmu. Aku berharap semoga suster yang membaca suratmu itu tidak salah menafsirkan tulisanmu itu. Semoga suster itu memiliki cita rasa bahasa yang tinggi. Satu lagi, jadilah sahabat yang baik bagi suster itu. Jangan buat dia kecewa.”

Usai memberikan pendapat itu, kami pun dianggil oleh pastor paroki. Maka kami pun beranjak dari tempat itu dan segera menemui pastor.

* Penulis adalah calon imam Keuskupan Padang, Tingkat I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar