LOGO KAMI

LOGO KAMI

Laman

Rabu, 20 Maret 2013

KELUARGA: PEWARTA IMAN NOMOR SATU Oleh : Fr. Fabianus Sebatu*

 

clip_image002Pengantar

Paus Benediktus ke XVI menetapkan 11 Oktober 2012-24 Nopember 2013 sebagai tahun iman, Porta Fidei. Porta Fidei memberi kesempatan kepada semua umat beriman katolik untuk menghidupi imannya dalam kata dan perbuatan. Singkatnya, iman harus tampak dalam tindakan kita sehari-hari sehingga kita semakin bertindak seperti Kristus dan dekat dengan Kristus.

Iman mulai dibentuk dan ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Setiap orang berasal dari lingkungan keluarga tertentu. Keluarga menjadi tempat seseorang lahir, dipelihara, dibesarkan, dan dididik. Keluarga menjadi ruang lingkup pertama untuk bertumbuh dan berkembang. Kata dan perbuatan,khususnya dari orangtua, sering dilihat anak. Orangtua menjadi dasar pertama dan utama untuk membangun iman anak. Proses pendidikan dalam keluarga -sadar atau tidak- memberi pengaruh yang menentukan dalam pertumbuhan iman seseorang.

Anak dan Orangtua dalam Keluarga

Sebuah keluarga inti terdiri dari bapak, ibu dan anak. Anak hadir ke dunia melalui orangtua. Orangtua menjadi orang terdepan yang paling bertanggung jawab atas kehidupan setiap orang. Satu dari tanggung jawab itu ialah berkenaan dengan pendidikan iman. Orangtua memiliki kewajiban untuk mendidik anak (khususnya tentang iman). Tugas ini merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar.

Kondisi ini kena pada kita sebagai orang beriman. Ketika masih bayi/anak-anak, kita tabula rasa. Anak-anak itu tulus dan polos. Persis seperti selembar kertas putih yang belum diisi dengan tulisan apapun. Setiap tindakan orangtua dilihat, dicerna dan dikuti oleh seorang anak. Seorang anak tidak mengerti apa-apa tentang iman. Meski demikian, kita tetap dibaptis. Tanggung jawab atas iman anak sepenuhnya diatur oleh orangtua. Inilah metode penanaman iman yang pertama dilakukan.

De facto, ada suatu keprihatinan yang sering muncul dalam lingkungan keluarga. Banyak anak tidak mendapat pendidikan tentang iman. Mereka tidak diajari tentang hal-hal yang berkenaan dengan iman, misalnya tentang doa-doa dasar. Padahal berdoa adalah tindakan yang sungguh melekat dalam diri orang beriman. Orangtua kerap membela diri dengan berbagai kesibukan sehingga tidak sempat mengajarkan iman kepada anaknya. Bahkan mereka sendiri tak punya kesempatan lagi untuk berdoa.

Pentingnya Pengetahuan Praktis tentang Iman

Orangtua sebagai penanggung jawab utama keluarga harus memiliki pengetahuan praktis tentang iman dalam gereja katolik. Pengetahuan praktis itu sangat penting diajarkan kepada anak-anak. Hal-hal praktis itu misalnya tentang bagaimana harus membuat tanda salib, doa Salam Maria, Bapa Kami, Kemuliaan, membaca kitab suci, dll. Doa-doa seperti ini harus dihafal atau diketahui oleh anak-anak. Pengetahuan praktis itu akan mempermudah anak-anak untuk dalam mengaplikasikan dalam kehidupan.

Selain pengetahuan praktis tentang bagaimana harus berdoal, hal-hal umum dalam gereja katolik juga harus diajarkan dalam lingkungan keluarga. Misalnya anak diajarkan tentang siapa itu pastor, suster, frater, paus, uskup, dan sebagainya. Pengetahuan-pengetahuan semacam ini bukan diperoleh dalam lingkungan sekolah tetapi dalam lingkungan keluarga. Sekolah justru harus lebih mengajarkan hal-hal yang jauh lebih maju, misalnya membuat doa spontan.

Beriman Secara Seimbang

Pengetahuan tentang hal-hal praktis berkaitan dengan iman tentu sangat penting. Tetapi itu saja tidak cukup. Kita tentu tidak mau beriman hanya sekedar itu dalam tataran pengetahuan dan berhenti di situ. Iman harus lebih dari sekedar pengetahuan praktis. Bila hanya sekedar pengetahuan, maka kalimat berikut ini tepat dialamatkan kepada kita: “No Action Talk Only” Kalau diterjemahkan “tiada aksi hanya bicara”.

Bila kita beriman hanya pada tataran pengetahuan praktis tentang iman itu sendiri, iman akan menjadi hampa dan tak berarti. Pada akhirnya iman itu menjadi mati. Persis seperti kata Rasul Yakobus “Iman tanpa perbuatan pada hakikatnya mati (Yak 2:14)”. Iman itu harus dihidupi justru dalam kata dan perbuatan sehari-hari.

Kita ingin beriman secara seimbang. Ada porsi yang proporsional antara kata dan perbuatan. Kata dan perbuatan menjadi bukti kita beriman. Beriman berarti percaya penuh kepada Allah. Totalitas itu ditunjukkan dengan tindakan percaya dan dengan bebas menyerahkan diri kepada Allah. Pada tahap kedua, iman berarti menerima dengan akal budi dan kemauan bahwa apa yang diwahyukan Allah itu benar. Kedua pemahaman ini merupakan bentuk dari tanggapan kita atas penyataan diri Allah.

Totalitas penyerahan diri itu tampak dalam kehidupan sehari-hari. Iman sebenarnya adalah soal hubungan personal dengan Allah. Beriman berarti berani berkata YA kepada Allah. Dalam mengatakan YA kepada Allah, berarti kita membiarkan diri sepenuhnya dituntun Allah. Jawaban itu sifatnya sangat personal dan mesti jelas. Kemampuan untuk menjawab penyataan diri Allah itu merupakan anugerah Allah sendiri. Jawaban itu pulalah yang kita hidupi dalam kehidupan sehari-hari, lewat kata dan perbuatan sehari-hari.

Kita beriman dengan sepenuh hati, segenap diri kita. Kita beriman secara total melalui hidup yang kita jalani setiap hari. Hidup menjadi saksi bahwa kita orang beriman. Melalui hidup, iman itu dikenal dan diketahui orang lain sehingga bisa diikuti. Melalui kata dan perbuatan inilah sebenarnya akan dilihat, dicermati dan diikuti oleh orang lain. Yang paling dibutuhkan oleh setiap orang bukan kata-kata tapi aksi nyata.

Mewariskan Iman Melalui Teladan Hidup

Pertama-tama, keluarga merupakan Gereja yang paling kecil tetapi sekaligus mendasar. Dalam lingkungan keluarga perlu ada kebiasaan berdoa, membaca kitab suci, dan lain-lain. Orangtualah yang terlebih dahulu melaksanakan itu melalui kata dan perbuatannya. Ini yang menjadi contoh untuk dipraktikkan oleh anak-anak.

Anak-anak akan dengan sendirinya mendengar kata dan melihat perbuatan orangtua. Orangtua merupakan figur yang paling dekat dengan anak-anak. Anak-anak belum mandiri dan karena itu mereka sepenuhnya menjadi tanggung jawab orangtua. Orangtualah penanggung jawab utama dalam mengajarkan iman kepada anak-anak. Mereka harus mendidik anak dengan penuh cinta. Mereka mengajarkan iman melalui kata dan perbuatannya, singkatnya melalui teladan hidup. Teladan hidup menjadi “senjata” ampuh dalam proses membina dan mendidik iman anak.

Anak-anak lebih membutuhkan bukti yang ditampilkan melalui teladan hidup orangtua sebagai kepala keluarga. Bila orangtua malas datang ke gereja, malas baca Kitab Suci, berdoa, penuh kebencian dan dendam, anak-anak pun kebanyakan akan demikian. Sebaliknya jika orangtua rajin berdoa dan membaca Kitab Suci, anak-anak juga kebanyakan begitu. Maka, orangtua sebagai kepala keluarga perlu mengajak seluruh anggota keluarga dalam rumahnya untuk bersama-sama berdoa kepada Tuhan. Semakin sering kebiasaan ini dibuat, anak-anak akan terbiasa dan menjadi kebiasaannya. Lambat laun kebiasaan ini menjadi bagian yang tak bisa ditinggalkan dari hidupnya.

Penutup

Lingkungan keluarga, khususnya orangtua, memiliki peran yang sangat berpengaruh terhadap iman. Kata dan perbuatan mereka bukan hanya menumbuhkan iman tetapi juga menjadi pewarta iman yang sejati dalam keluarga. Keluarga menjadi pewarta iman nomor satu. Melalui teladan hidup mereka, iman itu sungguh mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, iman kita tidak mati karena iman sungguh bergema dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui iman yang sudah ditanamkan dalam keluarga, kita semakin dekat dengan Kristus bahkan hidup seperti Kristus. Dengan beriman, kita berserah diri sepenuhnya untuk dituntun Allah. Allah menjadi penyelenggara hidup kita setiap waktu. Permenungan dalam Porta Fidei akan membantu kita untuk semakin terpaut dan berserah diri kepada Allah.

* Penulis adalah calon imam Keuskupan Sibolga, Tingkat V

Tidak ada komentar:

Posting Komentar