LOGO KAMI

LOGO KAMI

Laman

Rabu, 20 Maret 2013

HIDUPKU YANG BERWARNA Oleh : Fr. Virgo Vincentius

 

clip_image002Melalui tulisan ini, saya hendak berbagi pengalaman tentang betapa Tuhan Yesus itu selalu mendampingiku dalam segala perkara hidupku dan dalam hiruk pikuk dunia yang semakin keras ini. Aku adalah seorang calon imam diosesan Palembang. aku anak pertama dari dua bersaudara. Aku sebagai orang yang terpanggil sebagai calon imam, tidak selamanya merasa aman-aman saja atau merasa lurus-lurus saja dalam panggilan hidupku yang kata orang panggilan ini sangat mulia. Tak jarang aku mendapat batu sandungan dalam menapaki jalan panggilanku ini. Berawal dari ketika aku hendak lulus dari seminari menengah, aku dikeluarkan dari seminari menengah karena aku kedapatan membawa HP. Hal ini merupakan suatu pukulan yang berat bagiku dan pukulan itu adalah pukulan yang aku buat sendiri. Betapa tidak? Aku sudah tahu resiko membawa HP adalah keluar! Tapi aku tetap saja nekad membawa HP. Padahal saat itu 2 bulan lagi aku lulus dari seminari menengah. Yahh…ini semua harus aku tanggung. Kata anak-anak muda sekarang itu sih D.L...alias derito loee...

Berikutnya aku menghadap Uskup Keuskupan Agung Palembang untuk meminta kebijaksaan beliau. Akhirnya aku diperkenankan untuk melanjutkan perjalananku sebagai calon imam dioesan palembang dengan syarat bahwa aku harus menjalani hidup di sebuah paroki selama kurang lebih satu tahun. Wahhh... ini salah satu penyertaan Tuhan dalam hidupku, pikirku. Tuhan masih memanggilku dan memberiku kesempatan.

Aku kembali pulang ke rumah sebelum menjalani hidup panggilan di paroki selama kurang lebih satu tahun itu. Kemudian 2 minggu sebelum aku berangkat ke paroki di mana aku tinggal, aku kembali harus menerima kenyataan bahwa pak wo[1] tutup usia. “Ohhh Tuhan,,,cobaan apa lagi ini ?”, keluhku dalam hati. Namun semua itu harus aku ikhlaskan. Aku harus percaya bahwa pak wo pasti bahagia di surga.

Dua minggu sudah pakwo pergi meninggalkan kami. Dan kini pula saatnya aku juga harus pergi meniggalkan keluargaku untuk menjalani panggilanku kembali. Semua semakin terasa berat bagiku. Aku menjadi malas dan tak bergairah lagi untuk menjalani panggilanku. Aku mulai merasa bahwa Tuhan tak lagi sayang denganku. Oh…lagi-lagi mengapa aku harus mengeluh. Mengapa aku harus menyalahkan Tuhan ? Tanda tanya besar, bukan ? Tuhan itu selalu sayang kepada umatnya. Buktinya yaitu kita masih diberi udara segar untuk bernafas hingga saat ini, masih bisa bercanda ria dengan teman-teman atau sanak keluarga kita, masih bisa tersenyum saat matahari terbit, dan lain sebagainya. Bukankah itu sudah menjadi bukti yang lebih dari cukup ? Namun saat itu mungkin aku sedang kalut. Aku tak dapat berpikir jernih saat itu. Hingga pada akhirnya aku menyalahkan Tuhan.

Selama satu tahun berada di paroki untungnya aku dapat menjalani hari-hariku dengan semangat. Melalui Pastor Paroki, Pastor Rekan, dan juga teman-temanku di paroki, aku mendapatkan semangatku kembali untuk menjadi seorang imam. Mari sekarang kita lihat kebelakang sejenak. Apakah kita juga sudah memberi semangat kepada sesama kita ? Atau kita malah menjadi batu sandungan bagi sesama kita untuk berkembang ? Hanya kita dan Tuhan yang tahu.

Sebagai seorang lelaki normal yang tumbuh dewasa, tentunya aku pernah mengalami yang namanya cinta. Saat aku tinggal di paroki selama satu tahun, aku pernah jatuh hati kepada seorang wanita. Pada saat itu aku berpikir bahwa apakah aku salah bila memiliki rasa itu? Namun aku berusaha untuk menetralisir perasaan itu. Aku harus tetap sadar dan ingat bahwa aku ingin jadi imam. Itu berarti bahwa aku harus bisa menjaga rasa itu dan bahkan mengubah rasa itu menjadi rasa seperti yang kuberi pada yang lainnya. Huh…rintangan yang berikutnya ku lalui. Deo gratias. [2]

Akhirnya, aku bisa melewati masa-masa sulitku ketika aku tinggal kurang lebih satu satu tahun di sebuah paroki di Palembang. Kini aku bisa melanjutkan perjalanan panggilanku ke jenjang yang lebih tinggi. Apakah rintangan-rintangan juga akan serta merta berhenti sampai di sini ? Tidak ! Aku sadar bahwa semakin tinggi perjalanan panggilanku, semakin tinggi dan berat juga nantinya cobaan maupun rintangan yang akan bisa menjadi sandungan bagiku.

Aku tak akan pernah bisa sampai pada tingkat saat ini tanpa bantuan orang tua, romo pembimbing, dan juga teman-temanku. Di atas dari semuanya itu aku juga sadar bahwa Tuhan selalu mendampingiku dan membantu dalam setiap pergumulan hidupku. Aku percaya bahwa Tuhan ada di sampingku, menemaniku, menjaga dan menopangku sehingga aku bisa kuat sampai saat ini. Aku percaya juga apa yang telah di katakana oleh seorang romo dalam suratnya kepadaku,” Dia yang memanggil kita, Maha Kuasa dan pasti bertanggungjawab atas orang yang dipanggil-Nya. Deo Gratias. J


[1] Pak wo adalah panggilan untuk kakek (bahasa jawa)

[2] Deo gratias berarti terimakasih Tuhan. (bahasa latin)

* Penulis adalah calon imam Keuskupan Agung Palembang, Tingkat I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar